Sabtu, 31 Oktober 2009

Kebebasan Ekspresi Warga Negara di Hadang dengan Stigma Separatisme


Sejak International Parlementary for West Papua (IPWP) di luncurkan di London Inggris 15-17 Oktober 2008, rakyat Papua meresponnya dengan aksi yang dilakukan secara damai di kantor DPRD Papua, pasca aksi tersebut pemerintah Indonesia melalui kaki tangannya Polda Papua menyikapinya dengan penangkapan aktivis HAM dan Demokrasi Papua dengan tuduhan melakukan provokasi terhadap masyarakat dan di anggap melakukan tindakan makar.

Aksi ini langsung disikapi dengan penangkapan saudara Buchktar Tabuni dan Sebby Sambon serta beberapa kawan-kawan aktivis lainnya yang tergabung dalam aksi tersebut, sejak terjadi penangkapan para aktivis, Fictor F Yeimo di jadikan sebagai sasaran atau target pencarian orang (TPO) atau daftar pencarian orang (DPO). Aksi selanjutnya dilakukan pada bulan maret 2009, Rakyat Papua menolak pengiriman militer TNI-POLRI aksi ini di sambut dengan brikade polisi untuk menggagalkan aksi tersebut.

Selanjutnya aksi terus di galang oleh Rakyat Papua guna menolak agenda Pemilihan Presiden di Papua, dalam agenda Pemilu 2009, rakyat Papua menolak di adakan pemilihan Presiden di Papua, Sikap penolakan Rakyat Papua yang ditunjukkan ini terkait dengan pengalaman rakyat Papua yang telah banyak menjadi korban para elit politik di birokrasi pemerintahan dengan janji-janji palsu melalui kampanye. Aksi boikot Pemilihan Presiden ini dilakukan secara damai yang berbarengan dengan penyambutan peluncuran Internasional Lowyer for West Papua (ILWP) di Papua pada bulan maret 2009.

Menyangkut dari beberapa rentetan aksi tersebut yang dilakukan oleh rakyat Papua, Polda Papua Jendral FX Bagus Ekodanto menanggapinya dengan membentuk Team Khusus mirip dengan Densus 88 untuk menangkap para aktivis HAM dan para pejuang Demokrasi di Papua, beberapa aktivis yang di jadikan sebagai tersangka langsung di masukan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), Victor F Yeimo di jadikan sebagai tersangka utama dengan Tuduhan penghasutan dan makar.

Kronologis Penangkapan

Pada hari Selasa 20 Oktober 2009, Pukul 01.15 WPB di Hotel Masartika, Victor F Yeimo dan kawan-kawan aktivis Pro-Demokrasi sedang melangsungkan pertemuan tertutup, sedang dalam pertemuan, utusan Team Khusus langsung melakukan penggledaan dan melakukan penangkapan tanpa menunjukan surat penangkapan terhadap Victor F Yeimo dan empat orang kawan lainnya dan langsung dinaikkan di atas mobil patroli dan dilarikan langsung ke Polsek Sentani dan selanjutnya dibawa ke Mabes Polda Papua untuk di Interogasikan. Kondisi terakhir Victor F Yeimo masih dalam penahan sementara Polda Papua sambil menunggu Team Advokasi datang mendampinginya.

Polda Papua telah menetapkan Vicktor Yeimo sebagai DPO terkait dugaan keterlibatan lelaki kelahiran Enarotali, 25 Mei 1983 lalu dalam kasus tindak pidana makar dan penghasutan. Kemudian sekarang sudah ditangkap apa yang menjadi incarannya. Victor F Yeimo dan teman-temannya serta rakyat Papua mengekspresikan apa yang mereka pendapat mereka terhadap kejanggalan-kejanggalan pemerintah dalam menangani konflik berkepanjangan yang menelan banyak korban, sehingga harus dilihat mana letak demokrasi untuk bebas mengekspresikan hak-hak mereka yang ditindas. Hal –hal ini jangan dipolitisir, negara yang berdemokrasi harus menghargai pilar-pilar demokrasi dan harus mengedepankan serta menegakkan demokrasi itu secara benar-benar di atas tanah Papua. Victor Yeimo dan kawan-kawannya beserta rakyat Papua berkampanye boikot pemilihan presiden dan pada saat yang bersamaan Megawati Soekarno Putri mengancam berkampanye bahwa memboikot pemilihan Presiden.
Yang menjadi pertanyaan mengapa Megawati tidak ditangakap? Seakan-akan rakyat Papua ini memang binatang, Mengapa semua kebebasan ekspresi rakyat Papua selalu dicap sebagai makar dan separatis, rakyat Papua bukan makar dan separatis mereka adalah warga negara yang sopan dalam budaya demokrasi. Kami menegaskan bahwa segala masalah yang terjadi dipapua harus ditangani secara baik dan harus jelih membaca dengan kacamata kebenaran dan keadilan.
Saudara Buchktar Tabuni, Sebby Sambon dan Victor F yeimo adalah benar-benar korban tidak ditegakkanya prinsip-prinsip Demokrasi di Tanah Papua, sehingga kami meminta Polda Papua untuk membebaskan mereka dari jeratan hukum.

Kampanye boikot pemilu alias golongan putih (Golput) merupakan hak asasi manusia sebagai mana salah satu pilar demokrasi. Kampanye golput merupakan salah satu bentuk ekspresi rakyat papua karena kekecewaannya terhadap pemerintah yang tidak pro terhadap perbaikan nasib warganya. Tindakan apatisme rakyat mencapai puncak setelah capres dan cawapres yang muncul adalah wajah-wajah lama yang telah terbukti tidak pekah terhadap nasib warganya sendiri. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak konsistennya pemerintah dalam implementasikan UU Otsus bagi Papua. Otsus yang telah berjalan 8 tahun belum membawa perbaikan kesejahteraan bagi rakyat Papua. Hal ini dapat dilihat pada belum rampungnya perdasi dan perdasus sebagai landasan penyelenggaraan pemerintahan. Wajar saja tingkat kemiskinan di Papua mencapai 70 persen akibat rendahnya akses terhadap berbagai sumber daya yang ada. Belum lagi rakyat papua belum secara memadai mempengaruhi secara strategis kebijakan-kebijakan yang yang ada.

Penangkapan Aktivis Viktor F Yeimo merupakan kegagalan Negara dalam memenuhi dan menegakkan demokrasi di Republik ini. Wajah Negara kembali tercoreng dikancah global karena tidak mampu memenuhi hak-hak warganya. Negara telah gagal dalam menunaikan kewajibannya untuk menghormati, memenuhi dan melindungi warganya dalam memenuhi haknya baik hak ekonomi, social, budaya maupun politik.

Dalam kasus penangkapan aktivis Papua ini banyak menimbulkan kejanggalan antara lain: Pertama: Mengapa pihak aparat kepolisian menangkapnya saat momentum pelantikan Menteri Kabinet Indonesia bersatu (KIB) jilid II ? Ataukah aparat kepolisian telah lama mengetahui keberadaan Viktor sehingga tunggu moment yang tepat untuk menangkapnya ? mengapa operasi penyakit masyarakat (Pekat) yang dilakukan pihak kepolisian tidak dengan terencana ? ada apa dengan segelintir orang yang menamakan diri aktivis pro demokrasi melakukan pertemuan khusus dengan viktor yeimo? Benarkah dalam hotel itu viktor berduaan dengan seorang wanita ? Kedua : Mengapa dalam insiden ini pihak kepolisian tidak menunjukkan surat penangkapan dan penahanan ? karena ia ditangkap dalam insiden operasi pekat apakah sanksinya juga akan diberikan berupa teguran atau pembinan moral.

Selasa, 06 Oktober 2009

Arnold Clemens Ap Pemersatu Orang Papua


Pada 26 April 1984, Arnold Ap ditembak oleh kopassus dan meninggal di dekat Jayapura. Beberapa hari sebelum peristiwa itu, ia berada di penjara Jayapura, tempat ia di tahan sejak 30 November 1983. Kemudian diceritakan, bahwa Arnold, Eddie Mofu yang adalah temannya dan beberapa teman lainnya diberi tahu bahwa mereka bisa keluar. Tapi, ketika mereka keluar, mereka dihabisi. Tampaknya mereka di tembak ketika mereka mencoba lari. Kemudia diketahui pembunuhan ini di lakukan atas perintah Jakarta.

Arnold Ap adalah seorang antropolog dan berhak mendapat penghargaan atas usahanya untuk melestarikan budaya Papua. Disebuah museum kecil di Universitas Cendrawasih, dimana ia menjadi kurator setelah menyelesaikan pendidikannya, ia mengumpulkan benda-benda yang menjadi dokumentasi budaya Papua. Pada 15 Agustus 1979, ia dan beberapa temannya mendirikan kelompok musik, tarian dan teater Mambesak, yang dengan segera menjadi terkenal diseluruh Papua dan daerah lainnya. Arnold Ap berasal dari daerah Biak Numfor, tapi ia bermaksud menyebarkan pengetahuan unsur budaya dari seluruh bagian Papua. Ia mengumpulkan lagu-lagu dari berbagai suku di Papua, Menyebarkan pengetahuan ini lewat Mambesak, dan bersama kelompok seni ini ia juga memproduksi kaset musik yang segera dipakai di selurum Negeri.Distasion radio setempat, setiap minggunya ia berkesempatan membawakan lagu dari berbagai daerah di Papua. Setiap sabtu, para pemuda, pelajar dan anak-anak sekolah berkumpul didepan museum. Arnold Ap mengajari mereka lagu-lagu dan tarian, dan dengan demikian, mengajar mereka ekspresi baru tentang budaya mereka sendiri. Dengan cara ini, ia mampu menciptakan kesadaran yang luas akan identitas Papua, menjembatani perbedaan diantara berbagai suku.